50 Tahun Diterapkannya Criminal Profiling

Tulisan ini dimuat untuk menghormati upaya aparat penegak hukum mencegah aksi salah tangkap dan memajukan teknik investigasi aksi kejahatan melalui profiling

Selama 16 tahun, George ‘mad bomber’ Metesky berhasil mengelabui kepolisian New York dengan menanam sekitar 30 bom berdaya ledak rendah sepanjang tahun 1940 hingga 1956 di bioskop, telepon umum, dan fasilitas publik lainnya. Para penyelidik yang frustrasi meminta bantuan psikolog James Brussel, anggota dewan kesehatan mental masyarakat kota, untuk mendeskripsikan pelaku. Jawabannya sederhana: pelaku belum menikah, orang asing, terdidik, memasuki usia 50 tahun, menetap di Connecticut, memiliki obsesi dengan balas dendam terhadap Con Edison—bom pertama meledak perusahaan energi milik Con Edison yang terletak di Jalan Raya 67.

Sebagian besar jawaban Brussel berdasarkan akal sehat semata, namun ada pula yang berdasarkan konsep-konsep psikologi. Misalnya, dia mengatakan bahwa sikap paranoia cenderung memuncak di usia 35 tahun. Bila pelaku pada saat meledakkan bom pertama berusia 35 tahun, maka pada tahun 1956 dia berusia 51 tahun. Profil ini langsung mengarahkan polisi ke Metesky, yang akhirnya tertangkap pada Januari 1957 dan mengakui perbuatannya. James Brussel membangun profil pelaku peledakan bom dengan memeriksa TKP dan memperhatikan surat yang ditinggalkan oleh pelaku. Profil yang dibangun menjabarkan kepribadian pelaku yang akurat seperti perkiraan lokasi rumahnya dan jenis pakaian yang dipakai. Aparat kepolisian kemudian mengaplikasikan standar yang sama dalam menyeleksi perkiraan tersangka dan penangkapan terhadap tersangka.
Pada tahun-tahun berikutnya aparat kepolisian New York dan kota lainnya selalu berkonsultasi dengan psikolog untuk membangun profil tersangka yang sulit dikejar oleh aparat keamanan. Sebagai sebuah ilmu, ‘profiling’ telah menarik perhatian publik terutama sekali karena film ‘Silence of the Lamb’ dan serial TV ‘Profiler’. Proses ‘profiling’ juga memiliki nama lain seperti “analisis investigasi kejahatan”, “investigasi psikologis”, dan “penyelidikan tindak kejahatan”.
Terlepas dari nama-nama yang dipergunakan, semua teknik yang dipakai menuju pada tujuan yang sama, membantu penyidik untuk menemukan bukti-bukti di TKP dan mengolah laporan saksi dan korban untuk memperoleh deskripsi pelaku. Deskripsi ini dapat berupa variabel psikologis seperti pola perilaku, kegemaran pribadi, dan psikopatologi, termasuk juga variabel demografis seperti usia, ras, dan lokasi geografis. Penyidik dapat mempergunakan ‘profiling’ untuk mengerucutkan jumlah calon tersangka atau mengetahui bagaimana menyidik tersangka yang ternyata sudah berada di tahanan.
Harvey Schlossberg mengembangkan profil pelaku kejahatan berdasarkan kasus-kasus yang dilakukan oleh para penjahat. Dia mengelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan apakah kemungkinan pelaku berasal dari keluarga tidak harmonis? Dia menyusun semua daftar ini dan melihat apakah jawaban-jawaban tertinggi dalam penelitiannya muncul dalam kasus-kasus kejahatan yang muncul . Teknik identifikasi pelaku bukanlah konsep baru. Berbagai kegagalan dan keberhasilan menyertai perkembangan ilmu ‘profiling’. Misalnya kegagalan dalam kasus “Pencekik dari Boston”. Para psikolog menilai pelaku sebagai sepasang guru sekolah yang diperkirakan homoseksual dan penyendiri. Kenyataannya, pelaku sebenarnya, Albert DeSalvo, adalah pria dengan orientasi seks normal, pekerja bangunan, dan tinggal harmonis bersama keluarganya.
Konsep dasarnya adalah perilaku merefleksikan kepribadian. Tujuan utama ‘profiling’ adalah membantu sistem peradilan dalam memerangi kejahatan. Aktivitas ‘profiling’ harus dapat menunjang aparat hukum dengan elaborasi terhadap pelaku kejahatan. Elaborasi ini harus mengandung informasi yang berkaitan dengan masalah sosial dan psikologis pelaku dan juga hal-hal lain seperti usia, ras, jenis kelamin, jenis pekerjaan, agama, status pernikahan, dan pendidikan. Profil yang terbangun dapat mengurangi wilayah penyidikan polisi agar hasil yang diperoleh dapat maksimal, serta memprediksi kemungkinan aksi serupa dan sasaran yang diincar.
Identifikasi pelaku dapat juga membantu penyelidikan dengan mengusulkan teknik-teknik interogasi yang efektif, berkaitan dengan tipologi pelaku. Tidak semua pelaku atau tersangka akan bereaksi sama terhadap sebuah pertanyaan. Satu teknik interogasi yang efektif terhadap satu tersangka belum tentu sesuai untuk tersangka lainnya. Istilahnya ‘tidak semua pembunuh berantai membunuh dengan alasan yang sama’. Oleh karena itu, seorang penyidik haruslah kaya strategi investigasi dan interogasi. (*)

Sumber
Lea Winerman. Criminal Profiling: The Reality Behind The Myth. APA Publication, 2004.
www.apa.org/monitor/julaug04

Peter Siggins. Racial Profiling in an Age of Terrorism. 2002. USA: St. Clara University

Security Journal Volume III/12/Desember 2006


Tidak ada komentar: