Tantangan Pengamanan VIP

Sepanjang sejarahnya, serangan terhadap tokoh penting selalu muncul secara tidak diduga. Pelaku merencanakan aksinya dengan teliti, sehingga jarang sekali gagal mengenai sasarannya. Masih ingat kasus penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan pengusaha Boedyharto Angsono? Pembunuhan bergaya gangster ini menunjukkan adanya perencanaan matang di balik aksi para pelaku, termasuk melakukan pengamatan ala intelijen untuk memperoleh informasi akurat yang dapat mendukung aksi mereka.
Aksi pembunuhan terhadap public figure atau orang berstatus VIP merupakan tantangan serius bagi penyedia jasa pengawalan VIP. Pengawal bersenjata api tidak sepenuhnya menjamin keselamatan nyawa orang yang dilindunginya. Hal ini dikarenakan perlindungan terbaik justru dilakukan dengan mewaspadai lingkungan sekitar lokasi untuk mendeteksi kemungkinan adanya aktivitas mencurigakan yang membahayakan tugas pengawalan.
Satu contoh klasik diacuhkannya aktivitas pengintaian musuh adalah peristiwa terbunuhnya bankir Jerman Barat, Alfred Herrhausen, pada 30 November 1989. Pasukan Brigade Merah, kelompok teroris yang bertanggung jawab terhadap serangan tersebut, mempersiapkan aksi pembunuhan Herrhausen dengan matang termasuk kerja-kerja pemantauan terhadap aktivitas korban.
Aksi pembunuhan terhadap Herrhausen sebenarnya dapat diperkirakan sejak awal. Pada 1 Oktober 1989 hingga 18 Okober 1989, kelompok teroris menyamar sebagai pekerja konstruksi jalan yang jaraknya hanya 500 meter dari rumah Herrhausen. Tidak seorangpun mempertanyakan keabsahan proyek tersebut ke pemerintah kota. Pada hari penyerangan, Herrhausen berada di dalam kendaraan anti peluru dengan sejumlah pengawal bermobil di depan dan belakang mobilnya. Herrhausen terbunuh ketika sebuah tas berisi bom yang terikat pada sebuah sepeda meledak. Sepeda tersebut terletak di tepian jalan yang dilalui Herrhausen. Supir yang terlatih bela diri dan kendaraan anti peluru ternyata tidak dapat melindungi nyawa Herrhausen.
Sepeda yang meledak adalah bagian terpenting dari peristiwa tersebut. Kelompok teroris mendesain sebuah sepeda agar tidak terlihat mencurigakan bila dipergunakan di kawasan elite. Mereka menempatkan sepeda berharga mahal di tepian jalan yang jaraknya hanya 100 meter dari tempat parkir khusus sepeda selama seminggu, mengambilnya kembali, dan menempatkannya lagi di lokasi yang sama. Sekali lagi, tidak ada pertanyaan kenapa sebuah sepeda mahal dibiarkan tergeletak di tepian jalan tanpa kejelasan siapa pemiliknya.
Tujuan utama mendeteksi pengintaian adalah membaca kemungkinan serangan dan mengambil tindakan pencegahan agar tidak berkembang terlalu jauh. Satu contoh lain adalah pembunuhan George Besse, President Renault Cars, pada 17 November 1986 ketika akan memasuki apartemennya sendiri. George Besse ditembak oleh dua orang yang bersembunyi di semak-semak yang tumbuh di sekitar apartemennya.
Sebuah kelompok teroris Perancis, Action Direct, mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Aparat kepolisian, pada bulan Maret 1987, memeriksa sebuah rumah pertanian di Perancis yang dicurigai sebagai markas Action Direct. Di dalam rumah tersebut mereka menemukan 60 kaset-kaset video tentang Besse dan pengusaha-pengusaha ternama Perancis lainnya. Kaset-kaset video ini merupakan penemuan penting karena menunjukkan aktivitas keseharian para pengusaha di dua lokasi utama, yakni rumah dan kantor mereka. Mereka kemudian beraksi berdasarkan hasil pemantauan.
Pembunuhan Besse dan Herrhasuen hanyalah sedikit dari sekian banyak tragedi yang menunjukkan bahwa penjahat yang mengincar sasaran VIP sangat bergantung pada hasil pemantauan. Salah satu tindakan perlindungan terbaik adalah dengan menghindari rutinitas dan menyusun berbagai alternatif tindakan. Merubah jadwal rutin tokoh penting tentu bukanlah pekerjaan mudah. Mereka tidak ingin datang terlambat ke setiap pertemuan dan kerap melalui jalan yang sama.
Para penyedia jasa pengawalan VIP tampaknya harus meyakinkan pengguna jasa mereka bahwa proses perlindungan akan lebih efektif dengan menghindari rutinitas. Apabila waktu keberangkatan dan kedatangan dapat berganti-ganti secara signifikan, maka proses perlindungan akan lebih optimal. Akan tetapi jika perbedaan waktu keberangkatan hari pertama dengan hari kedua hanya berselang 10-20 menit, maka sebenarnya tidak terlalu berdampak banyak. Perbedaan ini hanya ”menganjurkan” teroris untuk menunggu sedikit lebih lama sebelum beraksi.
Hal lain yang harus diantisipasi adalah rute perjalanan yang terkadang sulit untuk diubah. Kondisi ini mendorong para pelaku untuk beraksi di sekitar rumah atau lokasi kerja target. Kecil kemungkinan sasaran berpindah ke banyak tempat dalam waktu singkat. Jika lingkungan tempat tinggal memiliki jumlah akses yang terbatas, maka perubahan jalur tidak dapat berpengaruh banyak. Alternatif tindakannya tentu memperkuat sistem pendeteksian terhadap lemungkinan adanya pengintaian ke arah obyek yang dilindungi.
Jasa pengawalan VIP bukanlah jasa tukang pukul (bouncer), sekalipun masih banyak orang yang mengidentikkan petugas pengaman VIP dengan tukang pukul dan preman. Ada kontrol emosi dan psikologi yang harus terus terjaga selama melakukan pengamanan, karena penyerang dapat saja melakukan tipuan untuk menguji tingkat pengamanan obyek sasarannya. Siapkah para penyedia jasa pengawalan VIP di Indonesia menghadapi tantangan yang kian hari kian nyata?


Sumber:
Bernstein, Richard. 1986. A French Leftist Extremist Group Says It Killed Renaults President. The New York Times. 16 December 2006

The New York Times, Sunday, 17 December 1986.

www.dw-world.de. Today in History. 30 November 1989

Security Journal Volume IV/1/Januari 2007

Tidak ada komentar: